Structural Family Therapy Upaya Mengatasi Krisis Pasca Perceraian : Studi Kasus Keluarga Desta dan Natasha Rizky

Authors

  • Zahra Mufatihah Universitas Sriwijaya
  • Aldira Putri Zelya Universitas Sriwijaya
  • Sigit Dwi Sucipto Universitas Sriwijaya

DOI:

https://doi.org/10.9000/jupetra.v4i2.2165

Keywords:

Perceraian, Konseling Keluarga, Structural Family Therapy

Abstract

Perceraian merupakan peristiwa krisis dalam keluarga yang tidak hanya berdampak pada pasangan suami istri, tetapi juga terhadap kondisi psikologis, sosial, dan perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan Structural Family Therapy (SFT) sebagai intervensi konseling keluarga pasca perceraian melalui studi kasus perceraian publik figur Deddy Mahendra Desta dan Natasha Rizky. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis naratif dan mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SFT dapat diterapkan untuk membantu keluarga pasca perceraian, khususnya dalam memperjelas peran dan batasan antar anggota keluarga, serta membantu memperjelas batasan struktur keluarga baru dengan sistem co-parenting.

Downloads

Download data is not yet available.

Author Biography

Zahra Mufatihah, Universitas Sriwijaya

 

 

References

Structural Family Therapy Upaya Mengatasi Krisis Pasca Perceraian : Studi Kasus Keluarga Desta dan Natasha Rizky

Zahra Mufatihah1, Aldira Putri Zelya2*, Sigit Dwi Sucipto3

,2,3Universitas Sriwijaya

*Corresponding email: myfatihahra@gmail.com

Abstrak - Perceraian merupakan peristiwa krisis dalam keluarga yang tidak hanya berdampak pada pasangan suami istri, tetapi juga terhadap kondisi psikologis, sosial, dan perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan Structural Family Therapy (SFT) sebagai intervensi konseling keluarga pasca perceraian melalui studi kasus perceraian publik figur Deddy Mahendra Desta dan Natasha Rizky. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis naratif dan mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SFT dapat diterapkan untuk membantu keluarga pasca perceraian, khususnya dalam memperjelas peran dan batasan antar anggota keluarga, serta membantu memperjelas batasan struktur keluarga baru dengan sistem co-parenting.

Kata kunci: Perceraian, Konseling Keluarga, Structural Family Therapy

Abstract - Divorce is a crisis event within families that not only affects the spouses but also has significant repercussions on the psychological, social, and developmental well-being of children. This study aims to analyze the use of Structural Family Therapy (SFT) as a post-divorce family counseling intervention through the case study of the divorce between public figures Deddy Mahendra Desta and Natasha Rizky. The research adopts a qualitative approach with a narrative analysis, collecting data from various relevant sources. The findings indicate that SFT can be effectively applied to assist families post-divorce, particularly in clarifying roles and boundaries among family members, as well as establishing clearer boundaries within the new family structure through the implementation of a co-parenting system.

Keywords: Divorce, Family Counseling, Structural FamilyTtherapy

Pendahuluan

Perceraian berarti berpisah, atau putusnya ikatan pernikahan (Hamid, 2018). Melalui perceraian suami-istri berpisah secara resmi, serta sudah tidak adanya lagi kewajiban maupun tugas yang harus dijalankan sebagai pasangan suami-istri. Perceraian memang bukan suatu hal yang diharapkan oleh siapapun (Santoso, Sabika, Kafia Elsaif, & Mukti Ardi, 2023). Akan tetapi, pada sebagian kasus perceraian menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh agar permasalahan dapat diselesaikan dan tidak semakin merugikan pihak manapun. Tidak peduli sudah berapa lama hubungan pernikahan terjalin, baik suka maupun tidak suka, perceraian tetap terjadi apabila sudah tidak ditemukannya lagi titik terang atas prahara rumah tangga yang dialami.

Bagi pasangan yang belum memiliki anak, perceraian tidak akan memberikan dampak yang cukup signifikan. Namun hal yang berbeda akan terjadi apabila perceraian melibatkan anak. Perceraian tentu akan memberikan dampak yang serius bagi anak (Santoso, Abdulkarim, Maftuh, & Murod, 2023). Anak akan mengalami trauma yang berat apabila sebelumnya merasakan kehidupan keluarga yang harmonis dan bahagia lalu terjadi perceraian yang menyebabkan tidak adanya rasa bahagia pada kehidupan di rumah (Erika Ramadhani & Krisnani, 2019). Anak korban perceraian cenderung kurang kasih sayang serta perhatian dari kedua orang tuanya, yang menyebabkan tidak stabilnya emosional mereka. Beberapa anak akan cenderung mudah marah, timbul perasaan tertekan, bersikap kejam, seringkali usil kepada orang lain, cemas, serta merasa tidak ada tempat pulang atau berpijak. Tak jarang pula anak sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah berpisah dan tidak dapat bersama lagi. Maka dari itu, diperlukan adanya perhatian khusus terhadap anak yang menjadi korban perceraian.

Setelah perceraian terjadi, kedua orang tua tidak begitu saja melepas tanggung jawabnya terhadap anak (Santoso, Supiati, Komalasari, & Hafidah, 2023). Co-parenting atau pengasuhan bersama akan dilakukan setelah orang tua resmi berpisah. Mantan pasangan suami-istri wajib kembali menyusun hubungan, peran, serta tugasnya sebagai orang tua yang sudah tak lagi tinggal serumah (Fahrezi & Diana, 2019). Co-parenting menjadi cara yang efektif untuk mereduksi dampak-dampak negatif dari perceraian pada anak. Melalui co-parenting diharapkan anak tetap dapat tumbuh dan berkembang secara positif dan maksimal walaupun dengan keadaan orang tuanya yang telah berpisah.

Salah satu kasus perceraian yang terjadi pada public figure adalah perceraian antara Desta dengan istrinya Natasha Rizky. Melalui pernikahan yang telah dijalin selama 10 tahun tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak. Ketiga orang anak tersebut masih di bawah umur saat perceraian ini terjadi (Santoso, Najibah, Novianti, & Zahra, 2023). Tentunya dampak negatif tidak dapat terhindarkan, anak-anak mereka masih menyimpan harapan agar kedua orang tuanya dapat kembali bersama, walaupun mereka sudah diberikan pemahaman sejak sebelum orang tuanya berpisah. Kondisi seperti ini sudah tidak asing lagi atau umum terjadi pada anak yang menjadi korban perceraian. Mereka akan cenderung sulit menerima adanya perubahan dalam keluarga mereka, terutama perbedaan struktur serta bentuk keluarga yang utuh dan harmonis seperti sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus tersebut melalui sudut pandang konseling keluarga. Lalu bagaimana teknik Structural Family Therapy dapat efektif diterapkan sebagai bentuk intervensi dalam menangani kasus tersebut. Konseling keluarga struktural sebagai pendekatan yang membantu menata kembali strutur dalam keluarga yang mengalami perpecaham diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dari kasus tersebut. Structural Family Therapy ini menekankan pada pemahaman mengenai sistem keluarga serta fungsinya, agar keluarga tetap dapat berfungsi secara sehat meskipun perpisahan telah terjadi (Hafizha, 2022).

Dengan adanya kasus nyata serta intervensi konseling, penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat dalam memberikan wawasan bagi pembaca mengenai pentingnya peran konseling keluarga dalam membantu anak melewati fase sulit akibat pereceraian, serta menunjukkan bahwa keluarga yang telah berpisah tetap mampu membentuk sistem keluarga yang sehat, suportif, dan tetap fungsional bagi perkembangan anak.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan suatu metode penelitian yang hasil akhirnya berupa data deskriptif yang berasal dari individu serta perilaku-perilaku yang dapat diamati melalui beberapa aspek yang mendalam (Prayogi & Arif Kurniawan, 2024). Penelitian ini menggunakan metode analisis naratif, yakni metode penelitian yang bertujuan memahami, menganalisis, serta mengevaluasi suatu kisah yang didapatkan dari berbagai sumber yag relevan (Kustanto, 2016). Pada penelitian analisis naratif ini, peneliti melakukan beberapa tahapan yakni menentukan tema permasalahan, menentukan objek yang sesuai dengan tema yang telah dipilih, mencari informasi dari berbagai sumber, serta melakukan analisis. Pengumpulan data dilakukan dari berbagai sumber, mulai dari studi literatur yang sesuai dengan perceraian serta teknik konseling yang tepat, menganalisis objek penelitian melalui kolom komentar media sosial, konten di berbagai platform, serta postingan yang dibagikan di jagad maya.

Hasil dan Pembahasan

Kronologi Perceraian

Kehidupan artis sering menjadi sorotan publik, termasuk aspek pribadi seperti perceraian, yang kerap menjadi konsumsi masyarakat (Murod & Santoso, 2023). Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah perceraian antara Deddy Mahendra Desta—seorang presenter, musisi, dan komedian—dengan Natasha Rizky, aktris dan mantan finalis Gadis Sampul. Pasangan ini menikah pada tahun 2013 dan dikaruniai tiga anak, namun pernikahan yang berlangsung hampir sepuluh tahun tersebut berakhir dengan perceraian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerai diartikan sebagai putusnya hubungan suami istri, baik karena talak, perpisahan saat keduanya masih hidup, maupun karena salah satu meninggal dunia (Santoso, Damayanti, Murod, & Imawati, 2023). Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mendefinisikan perceraian sebagai pemutusan hubungan perkawinan oleh pengadilan, dengan alasan yang cukup bahwa pasangan tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan perceraian adalah pemutusan hubungan perkawinan antara dua individu baik perpisahan antara suami istri ketika keduanya masih hidup atau karena salah satu meninggal yang diputuskan oleh pengadilan karena tidak dapat hidup rukun ketika bersama.

Proses perceraian dimulai ketika Deddy Mahendra Desta mengajukan gugatan cerai talak terhadap istrinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 11 Mei 2023, dengan nomor perkara 1583/Pdt.G/2023/PAJS (Tionardus & Setiawan, 2023). Kuasa hukum Desta, Hendra K. Siregar, menyatakan bahwa alasan perceraian bukan karena orang ketiga atau masalah ekonomi, melainkan karena ketidakcocokan visi dan misi hidup (Tim detikHot, 2023). Pernyataan ini juga dikonfirmasi oleh Natasha Rizky dalam beberapa wawancara, dengan harapan agar publik tidak berspekulasi dan menyebarkan informasi yang tidak akurat (Tionardus & Setiawan, 2023).

Kuasa Hukum Desta Mahendra juga menyatakan, keduanya telah berpisah rumah selama satu tahun sebelum gugatan diajukan, dan berkomitmen untuk menjaga komunikasi baik demi anak-anak mereka. Keputusan untuk berpisah rumah ini dilihat sebagai bentuk persiapan menuju proses perpisahan formal yang kemudian ditempuh melalui jalur hukum sebagai bentuk penyelesaian yang sah.

Akhir dari proses persidangan ditandai dengan sidang putusan yang memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai talak yang diajukan oleh Desta. Hak asuh disepakati jatuh ke tangan Natasha Rizky. Namun, Desta tetap mendapatkan akses untuk bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anaknya. Keputusan ini menunjukkan komitmen kedua pihak untuk tetap memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka meski telah berpisah secara hukum (Tionardus & Setiawan, 2023)

Dampak Peceraian Terhadap Anak

Keluarga yang utuh memberikan anak kesempatan untuk memperoleh pendidikan pertama mengenai nilai-nilai arahan, bimbingan, kepedulian, dan perhatian yang tulus. Hal ini sangat penting karena dengan interaksi keluarga yang baik, anak dapat merasakan dukungan emosional yang optimal (Lie et al., 2019). Ketika anak tumbuh dalam interaksi keluarga yang harmonis, diharapkan tugas-tugas perkembangan anak dapat tercapai dengan baik sehingga mempersiapkannya untuk menjalani proses perkembangan menuju kedewasaan secara sehat.

Namun, ketika suatu keluarga mengalami perpecahan akibat perceraian, dapat membawa dampak untuk pasangan suami istri maupun anak-anak mereka. Bagi pasangan yang bercerai, perubahan status dan peran sosial memerlukan penyesuaian kembali terhadap peran masing-masing dalam masyarakat (Santiago et al., 2023). Sementara itu, bagi anak-anak, perceraian dapat menimbulkan berbagai dampak dalam aspek kehidupan seperti aspek psikologis, sosial dan pendidikan.

Beberapa dampak yang mungkin dirasakan anak ditinjau dari aspek psikologis, di mana ketika orang tua bertengkar atau bercerai, anak dapat merasakan rasa takut kehilangan ayah, ibu, bahkan saudara-saudaranya (kakak dan adik). Anak juga mengalami berkurangnya kedekatan dengan orang tua karena harus berpisah rumah, yang menimbulkan rasa takut kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Kurangnya kasih sayang pada usia dini dikhawatirkan dapat membuat anak merasa kosong pada masa remaja, yang kemudian berpotensi melampiaskan perasaan tersebut dengan mencari seseorang untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya dan memberikan kasih sayang. Selain itu, perubahan sikap, perubahan kondisi stabilitas, dan perubahan tanggung jawab juga merupakan dampak perceraian terhadap psikologis anak (Suroso & Meilan Arsanti, 2023).

Dalam aspek sosial, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Wardani et al., 2022), anak dengan keluarga bercerai sering terlihat murung, bersedih, suka melamun dan cenderung untuk menarik diri dari lingkungannya serta menutup diri ketika berinteraksi karena merasa minder dengan keadaan keluarganya. Anak juga merasa tidak percaya diri atas kemampuan yang dia miliki sehingga takut untuk mencoba sesuatu yang baru, dan bersikap manja dengan orang terdekat. Hal ini bisa disebabkan dikarenakan setelah bercerai, anak tinggal dengan salah satu orang tuanya dengan cara pengasuhan yang berbeda antara ayah atau ibu, misalnya dalam soal memberikan perhatian, keramahan, dan kebebasan kepada anak-anak. Anak Tingkah laku anti-sosial juga bisa menjadi dampak lain dari perceraian. Beberapa anak mungkin mengekspresikan emosinya melalui perilaku kasar atau tidak sopan, yang jika tidak dikendalikan dapat berkembang menjadi pemberontakan dan pelanggaran aturan.

Sementara itu, dalam aspek pendidikan, perceraian dapat mempengaruhi motivasi belajar anak, karena anak merasakan kurangnya dorongan atau motivasi belajar dari orang tua, yang menyebabkan rendahnya motivasi belajar. Selain itu, konsentrasi belajar juga dapat terganggu akibat suasana rumah yang penuh pertentangan, yang dapat mengakibatkan menurunnya keaktifan siswa dalam pembelajaran (Rochmah, 2021).

Meskipun perceraian juga dapat memberikan dampak positif, seperti membuat anak menjadi lebih mandiri dan peka terhadap keadaan sekitar, dampak ini dapat berbahaya jika berlangsung dalam jangka panjang. Dikhawatirkan, dampak jangka panjang dapat mempengaruhi hubungan interpersonal anak serta kemampuan mereka dalam menghadapi stres serta beradaptasi dengan perubahan kehidupan di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi konseling yang tepat untuk membantu anak mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat perceraian.

Reaksi anak-anak Desta dan Natasha Terhadap Perceraian

Perceraian merupakan peristiwa krisis dalam kehidupan keluarga yang dapat menimbulkan berbagai dampak, khususnya bagi anak-anak. Anak seringkali kesulitan untuk memahami dan beradaptasi dengan perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pada kasus perceraian pasangan Desta dan Natasha, Reaksi sedih dan menangis ketika mengetahui ayah dan ibunya pisah rumah merupakan hal wajar ketika terjadi disorganisasi dalam keluarga yang merujuk pada gangguan dalam unit keluarga, dalam hal ini perpecahan keluarga.

Anak pertama mereka menunjukkan respons emosional seperti menganggap orang tuanya masih bersama dengan menggoda bahwa mereka saling sayang dan saling menunjukkan perhatian. Megumi secara terbuka mengungkapkan kesedihannya atas kondisi keluarga yang berubah. Hal ini dikarenakan perubahan rutinitas dalam kehidupan sehari-hari yang memengaruhi stabilitas emosional anak. Anak menjadi lebih sensitif secara emosional karena kesulitan dalam mengontrol perasaan mereka, terutama dalam menghadapi perubahan besar dalam lingkungan yang biasanya stabil bagi mereka (Aristawaty et al., 2023). Sementara itu, anak kedua mereka mengatakan jika ia berharap orang tuanya bisa kembali tinggal bersama serumah. Harapan ini mencerminkan ketidakmampuan anak untuk menerima kenyataan bahwa keluarga mereka telah berubah. Anak sering kali mengalami kesulitan dalam menerima perpisahan orang tua karena mereka lebih cenderung menginginkan kedamaian dan kestabilan, serta pengharapan agar situasi yang telah dikenal dapat kembali seperti semula (Sarmadi & Khodabakhshi-Koolaee, 2023)

Structural Family Therapy

Structural family therapy didefinisikan sebagai terapi keluarga yang mengedepankan pentingnya dinamika proses dalam keluarga, dengan memandang struktur keluarga sebagai sistem yang terbentuk dari berbagai interaksi komunikasi, dengan fokus utama memperkuat sub-sistem dalam keluarga serta memperjelas batas-batas antaranggota keluarga (Ulya, 2020).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Khafidhoh, 2021) structural family therapy dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan yang terjadi pada setiap anggota keluarga dan mampu membentuk suatu interaksi social dalam keluarga yang lebih erat sesuai dengan keberfungsian setiap anggota keluarga.

Terapi struktural juga dapat digunakan untuk membantu keluarga disfungsional, dalam hal ini keluarga yang mengalami krisis pasca perceraian, dikarenakan boundaries atau batasan interaksi antar anggota keluarga nampak kaku dan kabur. Oleh karena itu, diharapkan setelah menjalani terapi, keluarga menjadi lebih terbuka, mampu berkomunikasi dengan lebih baik, serta memiliki kejelasan peran dan batasan antaranggota keluarga (Rahmi Saputri, 2021).

Hal ini sejalan dengan penelitian (Ulya, 2020) dimana SFT mampu membangun ulang pola hubungan dan kedekatan dalam keluarga sebagai langkah untuk mediasi konflik pernikahan Penggunaan SFT membantu memperbaiki pola relasi antar pasangan melalui perubahan interaksi dalam keluarga yang mengarah pada resolusi atau solusi akhir yang disepakati bersama, setelah melalui proses pengekspresian dan negosiasi opini antar anggota sub-sistem.

Oleh karena itu, structural family therapy tepat digunakan dalam menangani keluarga yang mengalami konflik perceraian, dikarenakan keluarga mengalami perubahan struktur antar anggota sehingga batasan interkasi menjadi kabur . Melalui pendekatan ini, diharapkan setelah mengikuti sesi konseling, keluarga dapat membangun kembali struktur hubungan yang sehat, menerima hasil mediasi secara konstruktif, serta memperjelas pengasuhan anak pasca perceraian.

Langkah-langkah Structural Family Therapy

Goldenberg & Goldenberg (2008) (dalam Salsabila & Fatonah, 2021) mengungkapkan bahwa structural family therapy terdiri atas empat tahapan penting yang mesti dilalui. Langkah awal yakni joining and accommodating, pada tahap ini konselor berusaha membangun hubungan yang positif terhadap keluarga, konselor juga berusaha agar diterima serta menjadi pihak yang netral. Pada kasus perceraian yang dialami Desta, konselor perlu membangun hubungan yang empatik pada Desta, mantan istrinya, serta ketiga anak mereka. Konselor memvalidasi perasaan kecewa, marah, ataupun sedih yang muncul selama proses konseling berlangsung. Pada tahap awal ini, diharapkan konselor mampu mendapatkan kepercayaan dari seluruh anggota keluarga sehingga mampu terbuka selama proses konseling.

Langkah yang kedua adalah assessing family interactions yakni usaha konselor dalam menganalisis keadaan keluarga tersebut, konselor berusaha mengidentifasi peran, pola interaksi, serta bagaimana cara keluarga dalam menghadapi perubahan atau krisis yang dialami. Pada tahap ini, konselor akan mengamati bagaimana keluaga Desta mengelola serta beradaptasi dengan perubahan besar yang mereka alami. Tahapan ini sangat penting untuk melihat apakah baik orang tua maupun anak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Konselor perlu memaknai secara mendalam apakah ketiga anak mereka telah mampu menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah berpisah, atau masih berada pada fase denial atau penyangkalan serta berharap kedua orang tuanya dapat bersatu kembali. Konselor dapat pula menyusun peta keluarga sebagai alat bantu untuk memahami relasi yang terjadi dalam keluarga. Melalui peta keluarga tersebut diketahui siapa yang paling dominan, siapa yang lebih pasif, bagaimana pola komunikasi dalam keluarga, mengindentifikasi konflik, serta melihat apakah anak hanya berpihak pada salah satu orang tua saja atau tidak. Melalui tahapan ini, konselor dapat mengetahui gambaran kondisi keluarga Desta pasca perceraian, dan mampu menjadi dasar untuk mengidentifikasi bagian mana yang dapat diintervensi guna membentuk struktur keluarga yang mampu mendukung perkembangan emosional anak pasca perceraian terjadi.

Langkah yang ketiga yakni monitoring family dysfunctional sets yakni dilakukannya analisis serta memperbaiki pola interaksi yang disfungsional dalam sistem keluarga, tahap ini berfokus pada mengenali pola interaksi tidak sehat yang kemudian akan diarahkan menjadi lebih adaptif sesuai dengan kebutuhan keluarga. Highlight utama dari kasus perceraian Desta adalah adanya gejala disfungsional berupa bentuk harapan anak-anak mereka yang tidak realisistis, yakni harapan untuk orang tuanya dapat bersatu kembali. Harapan ini dapat menjadi faktor penghambat proses anak dalam beradaptasi dengan struktur keluarganya yang telah berubah. Pada tahap ini, intervensi yang diberikan oleh konselor adalah memberikan ruang pada anak untuk berkomunikasi secara terbuka kepada ornag tuanya, konselor memfasilitasi anak untuk menyampaikan keinginannya kepada kedua orang tuanya, sedangkan orang tua akan menanggapi secara jujur terhadap realita yang sedang terjadi. Hal ini penting dilakukan untuk memvalidasi perasaan anak, serta mengajak mereka untuk keluar dari harapan-harapan tersebut sehingga mampu menerima kenyataan.

Langkah yang terakhir adalah restructuring transactional patterns yakni penekanan kembali mengenai peran, struktur keluarga yang baru, serta berbagai perubahan yang telah dicapai pada tahap sebelumnya. Pada kasus perceraian yang dialami oleh Desta, tahap ini mencakup penataan ulang pola interaksi serta aturan dalam keluarga. Jika sebelumnya anak-anak Desta merasa bahwa kedua orang tuanya masih memungkinkan untuk kembali bersama, maka pada tahap ini akan dilakukan restrukturisasi komunikasi agar mampu menekankan kejelasan serta konsistensi hubungan kedua orang tuanya yang telah berpisah, namun tetap memvalidasi perasaan anak. Pola interaksi lama yang masih mengandung harapan yang tidak realistis digantikan dengan pola yang lebih sehat dan jujur. Tahap ini menjadi tahap transisi yang krusial menuju kestabilan keluarga pasca prose restruturisasi. Keluarga membentuk pola interaksi baru yang lebih sehat serta menekankan pada perubahan dan batasan yang terus diperkuat, tujuan utama dari tahap ini adalah agar mampu mengakomodasi kebutuhan emosional seluruh anggota keluarga, terutama anak yang menjadi korban dari perceraian tersebut.

Efektivitas Structural Family Therapy

Dalam konseling keluarga, konselor berperan untuk membantu anggota keluarga memperoleh pemahaman dan penyelesaian konflik dengan membantu memperjelas ketidakjelasan terhadap konflik yang dialami dan merekonstruksi hubungan yang terdapat dalam keluarga dengan mendukung pertumbuhan setiap individu dan keluarga (Putri et al., 2022). Dalam hal ini, konseling dengan teknik structural family dinilai efektif dikarenakan mampu mengembalikan peran dan fungsi anggota keluarga setelah terjadinya krisis melalui restrukturisasi sistem interaksi keluarga dengan memperkenalkan konsep co-parenting yang akan dijalankan dan menetapkan batas-batas baru yang sehat sebagai keluarga. Selain itu, memberikan dukungan emosional bagi anak dan membekali orang tua dengan keterampilan komunikasi dan kerjasama yang efektif dalam mengasuh anak setelah perceraian. Sehingga, dalam hal ini konseling teknik structural family efektif membantu memperjelas konsep co-parenting yang ingin dijalankan oleh keluarga yang bercerai.

Konselor juga akan membantu keluarga untuk lebih berfokus pada hakikat dan konteks dari persoalan yang dihadapi dibandingkan persoalan itu sendiri (Ulfiah, 2021). Dalam hal ini, konseling keluarga membantu anak untuk mengatasi kebingungan akibat perubahan peran di dalam rumah dengan memperjelas peran baru dari orang tua mereka sebagai pasangan co-parenting. Konselor membantu setiap anggota keluarga memahami posisi serta kontribusinya dalam sistem keluarga yang baru.Konselor juga mendorong terciptanya lingkungan yang aman dan terbuka di mana anggota keluarga merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah-masalah yang mereka hadapi (Hotman & Damanik, 2024). Sehingga, tercipta pemahaman yang lebih baik antara anggota keluarga dalam proses adaptasi terhadap struktur keluarga yang baru.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap kasus perceraian pasangan publik figur dan penerapan teknik Structural Family Therapy (SFT), dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini efektif dalam membantu keluarga pasca perceraian untuk membangun kembali struktur relasi yang sehat dan fungsional. SFT berperan penting dalam memperkuat peran dan batasan antar anggota keluarga, mengurangi disfungsi komunikasi, serta memfasilitasi proses adaptasi terhadap perubahan sistem keluarga. Pendekatan ini juga mendorong terbentuknya pola co-parenting yang jelas dan suportif, sehingga anak tetap mendapatkan perhatian dan dukungan emosional meskipun orang tua telah berpisah. Dengan demikian, SFT menjadi salah satu pendekatan yang tepat dalam konseling keluarga untuk mengatasi dampak negatif perceraian, khususnya dalam membantu anak menyesuaikan diri dengan keadaan baru sehingga diharapkan anak dapat tetap mendapatkan kasih sayang keluarga secara optimal.

Referensi

Aristawaty, A., Mashabi, N. A., & Hasanah, U. (2023). Perilaku Anak Korban Perceraian Orang Tua. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 10(01), 51–62. https://doi.org/10.21009/JKKP.101.05

Erika Ramadhani, P., & Krisnani, H. (2019). Analisis Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak Remaja. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(1), 109–119.

Fahrezi, A., & Diana, R. (2019). Pola Asuh Co-Parenting Dan Penyesuaian Diri Pada Remaja dengan Orangtua Bercerai (Broken Home). Wacana, 2(11), 196–212.

Hafizha, R. (2022). Konseling Keluarga Struktural Sebagai Salah Satu Pendekatan Konseling Dalam Mengembalikan Peran Dan Fungsi Anggota KeluargA. JECO Journal of Education and Counseling Journal of Education and Counseling, 2(2), 217–227.

Hamid, H. (2018). Perceraian dan Penanganannya. Urnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 3(4), 23–29.

Hotman, F., & Damanik, S. (2024). Peran Bimbingan Konseling Pada Sekolah Ramah Anak dalam Memberikan Dukungan Emosional di Sekolah Menengah Atas. In Didaktika: JurnalKependidikan (Vol. 13, Issue 2). https://jurnaldidaktika.org

Khafidhoh, I. (2021). Pemberdayaan Keluarga Dalam Peningkatan Ketahanan Keluarga Melalui Structural Family Counseling. Community Development: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 5(1), 21–33.

Kustanto, L. (2016). Analisis Naratif: Kemiskinan Dalam Program Reality Tv “Pemberian Misterius” Di Stasiun Sctv. REKAM: Jurnal Fotografi, Televisi, Dan Animasi, 11(2), 109. https://doi.org/10.24821/rekam.v11i2.1297

Lie, F., Puspa Ardini, P., Utoyo, S., & Juniarti, Y. (2019). Tumbuh Kembang Anak Broken Home. Jurnal Pelita PAUD, 4(1), 114–123. https://doi.org/10.33222/pelitapaud.v4i1.841

Prayogi, A., & Arif Kurniawan, M. (2024). Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif: Suatu Telaah. Complex: Jurnal Multidisiplin Ilmu Nasional, 2, 30.

Putri, J. E., Mudjiran, M., Nirwana, H., & Karneli, Y. (2022). Peranan konselor dalam konseling keluarga untuk meningkatkan keharmonisan keluarga. Journal of Counseling, Education and Society, 3(1), 28. https://doi.org/10.29210/08jces189000

Rahmi Saputri, H. (2021). Structural family therapy untuk memperbaiki interaksi dalam keluarga. Procedia : Studi Kasus Dan Intervensi Psikologi, 9(3), 113–118. https://doi.org/10.22219/procedia.v9i3.16454

Rochmah, U. (2021). Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas Viii Smp Negeri 2 Kedung Jepara. Pamomong: Journal of Islamic Educational Counseling, 2(1), 50–58. https://doi.org/10.18326/pamomong.v2i1.50-58

Salsabila, K., & Fatonah, S. F. (2021). Konseling Keluarga Struktural Sebagai Upaya Mengurangi Tingkat Loneliness Remaja. PROSIDING Seminar Nasional “Bimbingan Dan Konseling Islami,” 1, 609–619.

Santiago, P. A., Lesawengen, L., & Kandowangko, N. (2023). Dampak Perceraian Terhadap Kepribadian Anak (StudiPada Keluarga Yang Bercerai Di Desa Melong KecamatanMelonguane Kabupaten Kepulauan Talaud). JURNAL ILMIAH SOCIETY, 3(1), 7.

Sarmadi, Y., & Khodabakhshi-Koolaee, A. (2023). Psychological and Social Consequences of Divorce Emphasis on Children’s Well-Being: A Systematic Review. Journal of Preventive Counseling (JPC), 4(2), 1–34. https://doi.org/10.22098/jpc.2023.12578.1162

Suroso, U., & Meilan Arsanti. (2023). Perceraian dan Perkembangan Psikologis Anak: Analisis Tematis Temuan Tinjauan Literatur. Legitima : Jurnal Hukum Keluarga Islam, 5(2), 331–346. https://doi.org/10.33367/legitima.v5i2.3315

Tim detikHot. (2023, May 19). Terungkap, Ini Alasan Desta Gugat Cerai Natasha Rizky. . DetikJateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-6727437/terungkap-ini-alasan-desta-gugat-cerai-natasha-rizki#:~:text=Desta%20menggungat%20cerai%20istrinya%2C%20Natasha%20Rizki.%20Pengacara%20Desta%2C,tidak%20lagi%20memiliki%20visi%20dan%20misi%20yang%20sejalan.

Tionardus, M., & Setiawan, T. S. (2023). Desta Gugat Cerai Natasha Rizky di PA Jakarta Selatan pada 11 Mei 2023. KOMPAS.Com. https://www.kompas.com/hype/read/2023/05/17/171000066/desta-gugat-cerai-natasha-rizky-di-pa-jakarta-selatan-pada-11-mei-2023

Ulfiah, U. (2021). Konseling Keluarga untuk Meningkatkan Ketahanan Keluarga. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(1), 69–86. https://doi.org/10.15575/psy.v8i1.12839

Ulya, Z. (2020). Structural Family Therapy As Mediation Process For Marital Conflict. Journal of Psychiatry Psychology and Behavioral Research, 1(1), 1–5. http://jppbr.ub.ac.id/

Wardani, A. K., Suhariadi, F., & Sugiarti, R. (2022). Dampak Perceraian Terhadap Perilaku Sosial Anak. Jurnal Kewarganegaraan, 6(2), 2684–2690.

Murod, M., & Santoso, G. (2023). Towards an Equitable Sharia Economic System in the City of Tasikmalaya: The Role of Sharia Regional Regulations and Islamic Relations. BASKARA : Journal of Business and Entrepreneurship, 5(2), 244. https://doi.org/10.54268/baskara.5.2.245-261

Santoso, G., Abdulkarim, A., Maftuh, B., & Murod, M. (2023). Jurnal Pendidikan Transformatif ( Jupetra ) Kajian keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Internasional untuk Perdamaian Dunia di Abad 21 Jurnal Pendidikan Transformatif ( Jupetra ). 02(01), 157–170.

Santoso, G., Damayanti, A., Murod, M., & Imawati, S. (2023). Implementasi Kurikulum Merdeka melalui Literasi Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Jurnal Pendidikan Transformatif (Jupetra), 02(01), 84–90. Retrieved from https://jupetra.org/index.php/jpt/article/view/127/35

Santoso, G., Najibah, A., Novianti, H., & Zahra, A. (2023). Negara Kesatuan Republik Indonesia Tidak Dapat Diubah: Membangun Pendidikan Multikultural. Jurnal Pendidikan Transformatif, 2(3), 70–77.

Santoso, G., Sabika, S., Kafia Elsaif, S., & Mukti Ardi, C. (2023). Telaah Implementasi Lagu Daerah dan Lagu Nasional Republik Indonesia. Jurnal Pendidikan Transformatif (Jupetra), 02(03), 95–107.

Santoso, G., Supiati, A., Komalasari, L., & Hafidah, I. (2023). Jurnal Pendidikan Transformatif ( Jupetra ) Kewarganegaraan Digital di Era Industri 4 . 0 : Tantangan dan Peluang Membangun Masyarakat Global yang Inklusif Jurnal Pendidikan Transformatif ( Jupetra ). 02(02), 141–146.

Downloads

Published

2025-03-31

How to Cite

Zahra Mufatihah, Aldira Putri Zelya, & Sigit Dwi Sucipto. (2025). Structural Family Therapy Upaya Mengatasi Krisis Pasca Perceraian : Studi Kasus Keluarga Desta dan Natasha Rizky. Jurnal Pendidikan Transformatif, 4(2). https://doi.org/10.9000/jupetra.v4i2.2165

Issue

Section

Articles